Harus Kembali!
Dengan pelan namun pasti ia
mengayunkan sepeda tuanya. Sepeda yang telah menemaninya sejak 10 tahun lalu,
masi terlihat kuat dan berlari menemani taunnya. Sesekali ia melirik jam yang
ada di tangannya, senyum tipis menghiasi pipinya, ada rasa rinduh yang
mengalahkan rasa penat di dalam dirinya, rasa rinduh akan tawa ceria anak-anak
remaja yang setiap hari menuntut ilmu di tempat ia bekerja, dan rasa rinduh
akan seorang siswa yang telah lama pergi meninggalkan semua bakat yang ia
miliki. Rasa rinduh itu yang terus ia harapkan saat sampai di gerbang pintu
gapura. Berharap semua seperti 2 bulan yang lalu.
*****
Busana
putih abu-abu melekat pada tubuhnya. Baju yang dibiarkan keluar dengan 2
kancing bagian atas yang terbuka memperlihatkan baju dalam yang berwarna hitam.
Dan tas hitam yang kumal tergantung di punggungnya.
Dengan santai ia memasuki lapangan yang sudah mulai sepi, yang ada di benaknya bukanlah
“Apakah aku datang terlalu cepat hari ini?” karena bukanlah Roni namanya jika datang terlalu cepat. Bahkan suatu keajaiban jika melihat anak yang masih berumur 17 tahun ini datang tepat waktu. Tak ada tanda-tanda kehidupan, kecuali kantin yang berada di pojok lapangan. Terdapat 2 atau 3 anak yang tidak perna absen untuk meramaikan suasana kantin, bahkan di saat jam pembelajaran berlangsung seperti saat ini.
“Woy
Ron, gabung lah!” teriak anak di seberang kantin. “Tidaklah, aku langsung masuk
aja.” jawabnya acuh.“Gila, kangen sejarah lu?” canda anak itu. “Bukan
sejarahnya kali, tapi gurunya.”
Kemudian ia berjalan menyusuri koridor yang
sepi dan berhenti pada ruangan yang terletak di sudut bangunan. Dengan
mengendap-endap, ia mengintip ruangan tersebut.
“Terlambat
lagi Ron?” terdengar suara berat.“Eh bapak, maap pak jalanan macet.”
“Tapi saya tak terlambat tuh, kamu pake motor, sedangkan saya cuma pake sepeda tua.” Balas si bapak.
“Tadi itu pak, saya ngantar ibu saya ke pasar. Makanya saya terlambat!” katanya untuk membela diri.
“Tapi saya tak terlambat tuh, kamu pake motor, sedangkan saya cuma pake sepeda tua.” Balas si bapak.
“Tadi itu pak, saya ngantar ibu saya ke pasar. Makanya saya terlambat!” katanya untuk membela diri.
Lelaki
tua itu hanya tersenyum dan membalas “Pokonya kamu terlambat. Dan hukuman buat
kamu, nanti pulang sekolah bersihkan toilet siswa. Saya bakal awasin kamu
sampai toilet itu benar-benar bersih.”
“Sip
pak!” jawab Roni yang dengan santai, namun kata yang mungkin tak dapat ia
tepati member keyakinan kepada gurunya itu.“ sekarang kamu boleh duduk!”
“Terimah kasih pak.”
“Terimah kasih pak.”
Dengan
santai ia masuk ke ruangan yang dipenuhi siswa-siswi yang asik dengan
kegiatannya masing-masing. Di sini mereka menyebutnya “KELAS”. Kelas yang jauh
dari arti kelas pada umumnya. Karena kelas menurut mereka adalah tempat bagi
mereka yang bernegoisasi saat ada PR yang belum dikerjakan. Tempat bagi mereka
untuk menyusun strategi saat adanya ulangan-ulangan mendadak. Dan tempat bagi
mereka yang memiliki bakat-bakat, sekedar memukul-mukul meja sambil bernyanyi.
Mengumpamakan diri mereka adalah anak band sejati.
“Dari
mana Ron?” tanya Dika saat Roni baru saja meletakan pantatnya pada permukaan
kursi.
“ Biasalah Dik, dari Lapak, main asap dulu”
“Mau sampai kapan Ron? Kejadian itu udah 2 bulan yang lalu. Kapan kau bisa membiarkannya pergi?”
“Udahlah Dik ngak usah ikut campur. Kau tidak mengerti” tak ada ocehan sejak saat itu. Mereka hanya berdiam diri saling berpikir.
“ Biasalah Dik, dari Lapak, main asap dulu”
“Mau sampai kapan Ron? Kejadian itu udah 2 bulan yang lalu. Kapan kau bisa membiarkannya pergi?”
“Udahlah Dik ngak usah ikut campur. Kau tidak mengerti” tak ada ocehan sejak saat itu. Mereka hanya berdiam diri saling berpikir.
“Baiklah
anak-anak kita lanjutkan pelajaran kita tadi. Pahlawan. Apa yang ada dipikiran
kalian dengan kata itu?” tanyak pak Suhadi kepada murid-muridnya.
“Mereka
yang rela mati pak.” jawab seorang murid.
“Bagus,
ada lagi?” Tanyanya lagi sambil
memandang satu demi satu murid yang ada
di dalam ruangan itu.
“Mereka
yang mengusir para penjajah dari tanah air, pak.” jawab siswi yang memakai
hijab
“Hmm,
boleh juga. Ada lagi?” tanyanya lagi. “Roni apa kamu mau menjawab?” tanya pak
Suhadi kepada Roni.
Roni
berdiri dari tempat duduknya. Ia berpikir sejenak dan mencoba untuk menjawab.
“Menurut saya pak. Pahlawan itu orang yang bukan hanya sekedar rela mati. Tapi mereka yang berharap bahwa kematian mereka mempunyai arti yang besar dan dapat dihudupi” jawab Roni mantap.
“Menurut saya pak. Pahlawan itu orang yang bukan hanya sekedar rela mati. Tapi mereka yang berharap bahwa kematian mereka mempunyai arti yang besar dan dapat dihudupi” jawab Roni mantap.
Suasana
menjadi henting seketika, tak ada yang berbicara. Roni memang anak yang dapat
dikatakan sebagai anak yang jenius. Ia merupakan anak yang membawa prestasi
bagi sekolahnya. Namun semenjak kematian ayahnya 2bulan yang lalu. Ia
kehilangan semangatnya. Ia kehilangan sosok pahlawan di dalam hidupnya, yang
menyatakan ia kehilangan segalanya. Sang ayah pergi dengan membawa Roni yang
dulu.
Kini
Roni hanyalah seorang remaja yang jail. Siswa yang tak perna datang tepat
waktu, PR dan tugas tidak perna ia kerjakan. Nilainya yang dulu tak perna turun
dari 90. Kini jatuh, bahkan tidak perna menyentuh angka 70. Namun sekarang
ruangan itu seperti dulu, seperti 2 bulan yang yang lalu. Ruangan itu terasa
menemukan orang yang dulu telah lama pergi.
“Iya, itu benar sekali Roni” akhirnya pak suhadi memecahkan keheningan. Ia melanjutkan. ”Pahlawan adalah mereka yang mencintai kita, tampah menilai kita terlebih dahulu.Sehingga ia mau mengorbankan segala apa yang ia miliki, bahkan nyawanya sekalipun.” Sejenak iya tersenyum lalu melanjutkan kalimatnya “Ingatlah akan orangtua kalian. Mereka adalah pahlawan bagi diri kalian. Tidak perna ia mengeluh. Ingatlah pengorbanannya dan…” suara pak Suhadi terhenti ketika ia melihat Roni berdiri dan berlari mencoba untuk keluar dari ruangan itu.
“Sudah cukup Ron. Kau harus melupakaan hal itu. Itu telah terjadi 2 bulan yang lalu.” tak ada jawaban ia hanya bergegas meninggalkan ruanggan itu dan menghilang.
“Anak-anak silakan kalian merangkum buku sejarah bab4. Sedangkan Dika,kamu ikut bapak.”
“Baik pak.”
“Iya, itu benar sekali Roni” akhirnya pak suhadi memecahkan keheningan. Ia melanjutkan. ”Pahlawan adalah mereka yang mencintai kita, tampah menilai kita terlebih dahulu.Sehingga ia mau mengorbankan segala apa yang ia miliki, bahkan nyawanya sekalipun.” Sejenak iya tersenyum lalu melanjutkan kalimatnya “Ingatlah akan orangtua kalian. Mereka adalah pahlawan bagi diri kalian. Tidak perna ia mengeluh. Ingatlah pengorbanannya dan…” suara pak Suhadi terhenti ketika ia melihat Roni berdiri dan berlari mencoba untuk keluar dari ruangan itu.
“Sudah cukup Ron. Kau harus melupakaan hal itu. Itu telah terjadi 2 bulan yang lalu.” tak ada jawaban ia hanya bergegas meninggalkan ruanggan itu dan menghilang.
“Anak-anak silakan kalian merangkum buku sejarah bab4. Sedangkan Dika,kamu ikut bapak.”
“Baik pak.”
*********
Suara
knalpot memenuhi gang yang kecil itu. Jam masih menunjukan pukul 11:40. Namun
jalan yang sepi itu kembali diisi dengan suara kendaraan. Biasanya yang lewat
ialah mereka yang bekerja membanting tulang untuk pergi ke tempat kerja mereka
dan pulang dari sana. Namun itu trejadi pada pagi hari atau sore harinya, bukan
di saat seperti ini. Jadi siapa yang mengendarai sepeda motor itu saat ini?
Dengan seragam yang masih menutupi
tubuhnya. Ia turun dari motor yang ia kendarai lalu memasuki ruko kosong yang
ia sebut denagn nama “LAPAK”. Di sinilah ia berpesta. Ruko yang berukuran 6x6
meter itu memang tidak layak pakai lagi. Terus apa yang ia lakukan di sini?
Terlihat banyak putung rokok
brserakan menghiasi lantai itu. Udara
yang pengap menyelimuti ruangan itu, membuat orang enggan untuk datang menempatinya.
Di sini ia menunjukan kebolehaannya ia mengambil sebatang rook yang ia
keluarkan dari dalam saku celananya. Setelah membakar ujung rokok, ia menghisap rokok itu. Hisapan
yang panjang daln dalam, tak sepata kata pun keluar dari mulutnya. Sambil menutup mata, ia merasakan
tarikan yang mengalir dalam kerongkongannya menuju paru-paru. Seakan membiarkan
paru-parunya dibersihkan kembali, lalu
tarikan rokok itu kembali lagi pada jalur yang sama dan di keluarkan dalam
bentuk asap putih yang menggodanya untuk memainkannya.
Sesekali ia melirik putung yang ada
di antara kedua jari tangannya, batinnya ”Terkutuklah mereka yang yang
mencipatkan barang yang kini ku nikmati,dan bahkan mungkin dinikmati oleh
hamper semua remaja di Indonesia”.lau iya menghembuskan asap putih ke
langit-langit. “Barang yang katanya membuat mereka terlihat berani dan gagah,
namun kenyataannya malah menghancurkan mereka. Namun bagaimanapun juga barang
itu menjadi salah satu pendapatan Negara, tidak heran bahwa produktifitasnya
tidak perna bermasalah, selalu ada distibusi kesetiap daerah di seluruh pelosok Negara. Toh kini aku pun
menikmatinya”. Sebauh senyum sersungging di pipinya saat ia meratapi nasibnya.
“Hy Roni.” ia kaget mendengar suara itu. Suara yang sangat
familiar.
“Apa yang bapak lakukan di sini?” jawab Roni tampah
berpaling
“Cuma mau membantumu”
“Aku tak ada masalah, pak. Kalaupun ada aku bisa
menyelesaikannya sendiri”
“Hmmm, benar juga”
“Maksudnya pak?”
“Benar juga yang bapakmu katakana. Kau anak yang bakal
menghadapi masalah mu dengan tanggung jawab”.
Iya menarik napas panjang lalu melanjutkan kata-katanya,
“Aku mengenal bapak mu, nak. Beliau adalah orang yang baik.” ia mendongak melihat
langit-langit, dan tersenyum sendiri
seakan-akan melihat sosok yang telah lama ia rinduhkan
“Ingat pak, orang baik selalu menderita.” Kata Roni
“Ingat pak, orang baik selalu menderita.” Kata Roni
“Siapa bilang?” Pria tua itu mendekat.“Coba liat ke sekelilingm,
liat ibumu! Ia juga kehilangan ayahmu, suaminya. Namun ia tidak perna
merasa kehilangan. Sebab iya memiliki
kau. Orang yang sangat berharga di dalam hidupnya.”
Orang tua itu membiarkan pemuda itu
untuk melihat sosok wanita tua yang selalu ada untuknya yang sudah menemaninya
17 tahun lamanya.“Lagian kedatangan ku hanyalah menagih janji yang kau ucapakan
tadi.” saat itu juga teringatlah Roni akan
hukuman yang harus ia kerjakan. Ia melihat jam tangannya yang telah menunjukan pukul 13:05. ”Ayolah
Ron, apa kau tega melihat orang tua seperti aku ini menunggu?” Roni tertunduk
sambil menekan rokok ke tanah iya berkata “Oh iya pak. Soal pahlawan dalam
pelajaran sejarah tadi, bukannya pahlawan tidak perna mengeluh?”. Sejenak
mereka berdua terdiam. Kemudian tergambarlah sebuah senyum dari kedua orang
itu.
“Dia telah kembali”. Batin Suhadi
“Dia telah kembali”. Batin Suhadi